Rabu, 15 Mei 2013

PROSES ! PROSES ! PROSES !



KEMATANGAN JIWA TIDAK AKAN HADIR BEGITU SAJA. MELAINKAN HASIL TEMPPAN HIDUP DAN KESADARAN TERHADAP KEBESARAN ALLAH.

Seorang ustadz pernah menyindir. Katanya, zaman sekarang perempuan lebih lekas matang ketimbang laki-laki. Di antara kedewasaan sikap hidup, ketika seseorang menyiapkan mental untuk memikul tanggung jawab. Dan, lagi-lagi katanya, kaum hawa mempunyai pandangan hidup jauh ke depan. Lebih dari itu, mereka berani merintisnya.

Benarkah demikian ? Entahlah ! Saya belum meneliti secara pasti kecuali berkaca dari realita yang terhampar. Entah mengapa pula saya berada pada lingkungan yang mendukung komentar di atas.

Walaupun masih di bangku awal kuliah, banyak perempuan yang sudah berkiprah menyingsingkan lengan baju. Mereka dengan riang gembira menjadi sales, menjahit, penjual buku/majalah, rental komputer, kios baju muslimah, pedang kaki lima, loper koran dan sebagainya. Pokoknya tidak ada istilah pilih-pilih profesi. Apapun ladang amal digarap dengan suka cita, asalkan halal.

Sulit mengharapkan kebanjiran uang dari usaha demikian, apalagi bagi para pemula. Tiap hari mereka hanya mengumpulkan sen demi sen. Bahkan diantaranya mengaku tidak selalu menjadikan uang sebagai tujuan.
"Belajar memaknai hidup," ujar mereka lugas.

Kendati belum mendatangkan kelegaan materi, ada suatu hal yang menimbulkan rasa iri. Mereka selalu bisa menikmati apapun yang terjadi. Berulang kali jatuh bangun, gagal ataupun diganjal namun langkah berdikari tiada pernah jeri.
Allahuakbar !

Kenapa mereka bisa selalu nampak bahagia dengan profesinya ? Sebab mereka paham bahwa kehidupan merupakan ladang jihad. Allah tidak pernah memaksa hamba selalu berhasil, tetapi berusaha sekuat tenaga merupakan kewajiban.

Sejak pagi-pagi buta nafas perjuangannya sudah berdetak keras. Kemudian pada siang hari -dari wajah yang berminyak terbakar matahari- terpancar kebahagiaan melimpah ruah. Tetes peluh hari itu menjadi saksi bisu bahwa mereka hamba Allah yang selalu produktif. Sekaligus bukti sebagai umat Muhammad saw. yang teguh mengamalkan: "Bekerjalah untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya. Dan, berusahalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok hari."

Perjuangan penuh keikhlasan melahirkan pemahaman tentang hakikat diri, juga menciptakan urgensi manajemen waktu yang sempurna. Srikandi-srikandi muda itu tetap mahasiswi dengan indeks prestasi (IP) bagus, aktivis dakwah yang jam terbangnya padat, serta tekun membina masyarakat. Setiap detik tidak boleh lewat begitu saja tanpa kegiatan yang bernilai pahala.

Di sela seabrek-abrek kegiatan, mereka belajar mencari maisyah. Sejak dini menanamkan pada diri pantang bergantung kepada manusia, termasuk kelak dengan suami. Cukup bertawakal kepada Allah dengan gigih mencari nikmat rezeki. Subhanallah !

Ketika fenomena ini dibandingkan kepada laki-laki (ikhwan), betapa rasa miris mengiris-iris. Masah ada di antaranya yang membuang waktu sia-sia, padahal mereka kelak pemikul tanggung jawab. Ada yang tidur-tiduran saat matahari pagi bercahaya. Sebahagian lagi mengisi waktu dengan ngerumpi, atau malahan bengong seperti ayam kena tabok.

Ketika didorong untuk berdikari, mereka punya alasan pamungkas. "Ah, ayah bunda hanya menyuruh kuliah, biaya tak usah dipikir. Toh, kiriman per bulan lancar dan lebih dari cukup."

Ada juga yang ingin mencoba, tetapi kesadaran itu beriringan dengan sejumlah persyaratan, "Pekerjaan yang didalam ruangan, tidak menguras tenaga, dan gajinya lumayan." Iiih belagu !

Itu belum seberapa. Ada pula yang dengan gagah berkata (semoga hanya canda), "Saya akan banyak-banyak berdo'a kelak dapat istri cantik, warisan berlipat ganda, mertua kaya, mati masuk surga." Nah, lho !

Entah mengapa bisa bertemu yang tipe begini ?
Jangankan kelak memikul amanah, menyelamatkan diri sendiri saja akan kelimpungan. Semoga Allah membukakan kesadaran serta pintu rezeki buat mereka.
Amin !

Sebenarnya tidak penting berapa hasil atau sehebat apa pekerjaan, namun jauh lebih berharga proses yang dijalani. Pematangan mental seseorang bukan diperoleh di bangku sekolah atau kuliah. Melainkan buah dari tempaan pengalaman, saripati dari jatuh bangunnya usaha serta ketegaran menelan butir per butir pil pahit kegagalan. Dengan sendirinya, pribadi tangguh dan jiwa besar terbentuk kokoh.

Sayangnya, harapan berlebihan sering menyisakan luka yang teramat perih. Saat wisuda sangatlah gagah. Apalagi menyandang prediket cum laude dan menggondol nilai menakjubkan. Seolah-olah dunia sudah berada dalam genggaman.

Hanya saja tawa cuma bertahan seminggu usai menjujung toga. Setelah itu tak ada lagi ucapan selamat plus pandangan kagum, kecuali pertanyaan menusuk hati, "Apa kegiatan atau pekerjaanmu sekarang ?"

Tenggorokan terasa kelat, tidak ada jawaban yang membahagiakan batin. Minggu selanjutnya sindiran yang datang, berikutnya malah cemoohan. Sesudah itu tiada lagi yang peduli.

Dahulu ia aktivis jempolan, sang orator ulung yang mengundang decak kagum. Kemana-mana disapa bahkan dipuja sebagai pahlawan. Sekarang hukum alam berlaku, segalanya berputar dan harus ada pergantian. Mustahil terus menerus jadi pengurus organisasi.

Arena kampus jauh dimata, dan kini ia terdampar di medan yang sesungguhnya. Di hadapan terbentang belantara kehidupan yang jauh beda dengan dunia akademis. Bertumpuk rumus yang hafal luar kepala seperti tiada guna. Secepat kilat kegamangan menerjang, hingga ia linglung dalam bingung. Sekarang mana puja-puji dahulu ?
Mana ? Mana ? Mana ?

Ternyata orasi saja tidak bisa meluluhkan kerasnya persaingan hidup. Ijazah yang dibanggakan justru seperti kehilangan harga diri. Dunia nyata tidak terpesona melihat nilai tinggi, lebih memerlukan skill dan pengalaman. Parahnya, dahulu proses pematangan tersebut tidak pernah mau dijalaninya.

Seketika alam terasa menjadi pisau tajam. Ia merasa kalah dan dipermalukan oleh nasib. Padahal nilainya tinggi, padahal ia laki-laki, ikhwan lagi. Kacian deh loe !

Sementara akhwat-akhwat itu tamat juga dengan nilai baik. Bedanya kesibukan kian menumpuk usai wisuda; rental komputernya maju pesat, pelanggan salesnya bertambah, usaha kaki lima juga berkembang, warung kecilnya sudah terkenal, cita rasa kue-kuenya makin diminati. Bekerja tidak lagi mengayuh sepeda bekas, sudah punya sepeda motor walau masih kredit. Proses yang berat dahulunya mulai membuahkan sesuatu yang manis. Manis sekali !

Sebab mereka tabah menjalani proses, tangguh menghadapi seleksi alam. Sehingga tidak perlu cemas menatap masa depan, karena sudah menempa diri jauh-jauh hari.

Ya, hidup membutuhkan Proses ! Proses ! Proses !

Tidak ada komentar: