Kamis, 09 Mei 2013

Bapak Tua Penjual Amplop



Renungan hidup buat kita semua... 

Setiap kali menuju ke Mesjid untuk shalat Dzuhur, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas di lihat, barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar di Lubuk Alung setiap hari Selasa.

Pedagang di pasar Lubuk Alung umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak banyak orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Mesjid itu saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji dalam hati akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kampus, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusan plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih.

Astaga, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli 1 gorengan pisang pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp 7.500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp 250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu.

Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp 10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kampus. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis.

Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini :


“Bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka semoga saja perbuatan baik kita dapat berbuah menjadi suatu akibat yang baik pula, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kampus saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut rak buku di rumah saya. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.


Saya mencoba menggali lebih dalam tentang bapak penjual amplop ini. Yang saya tahu bahwa bapak ini hanya berjualan setiap hari jumat saja di pintu masuk Masjid. Namun, ketika hari selasa saya mendapatkan laporan dari salah seorang rekan bahwa bapak penjual amplop ini menjajakan dagangannya di salah satu gerbang keluar kampus. Saya tidak menemuinya karena jadwal kuliah yang padat. Barulah ketika rabu, sepulang kuliah sekitar pukul 12.00, saya menemuinya di tempat biasa ia menjajakan amplop-amplopnya, yaitu di depan pintu masuk Masjid. Saya berniat untuk menemuinya setelah saya melaksanakan shalat Dzhuhur.

Sekitar pukul 13.00, saya dan teman saya bergegas menuju gerbang pintu masuk Masjid. Saya dan teman saya ada keperluan untuk menyampaikan amanah infaq dari teman-teman kampus yang saya kumpulkan sehari sebelumnya dengan teman saya. Sedangkan saya ada keinginan lebih untuk berbincang-bincang dan membeli amplopnya. Bapak Tua Penjual Amplop.salah seorang jamaah di Jakarta kepada beliau sementara saya memang berkeperluan untuk bercakap-cakap dan membeli amplopnya.
Alhamdulillah beliau mau. Selama bapak tua dengan teman saya berbincang-bincang dan menyampaikan amanah infaq dari teman-teman, saya menerima banyak komentar dari para pedagang-pedangang lain di sekitar.

Menurut para pedagang, tidak sedikit orang yang membeli satu atau dua amplop tapi dibayar seharga Rp 5.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000. Si Bapak justru sering berkata kepada para pembeli bahwa uang yang diberikannya kelebihan. Namun, para pembeli mengatakan agar diambil saja lebihnya.

Setelah bercakap-cakap dengan para pedagang sekitar, si Bapak ini pun selesai menerima infaq dan mulailah percakapan kami. Sebelumnya agar percakapan lebih terasa hangat saya dan teman saya memperkenalkan diri dengan sedikit gurauan.

Namanya Sahar atau juga bisa dipanggil Pak Uwo, lahir di Sungai Limau (Pariaman) 76 tahun yang lalu. Ayahnya asli Sungai Limau sedangkan Ibunya asli Padang Panjang. Bapak yang sudah hidup tiga perempat abad ini suka merantau kesana kemari semasa mudanya hingga sekarang tinggal menetap bersama anak terakhir dan cucunya di Padang Panjang. Pak Sahar memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki semua. Anak pertama dan keduanya tidak tinggal bersama Pak Sahar. Semua anaknya memiliki keterbatasan dalam ekonomi sehingga jika beliau menggantungkan diri kepada anaknya, tentu akan susah. Dari sinilah beliau memutuskan untuk berdagang di usianya yang sudah renta.

Pak Sahar sehari-harinya berjualan amplop. Ya, amplop. Ia hanya berjualan amplop, tidak dengan yang lain. Pak Sahar menjajakan amplop-amplopnya di Pasar Sicincin dari pagi sampai siang kemudian dilanjutkan menjajakan amplop-amplopnya di pintu masuk Masjid. Selain itu, Pak Sahar juga menjajakan amplopnya di Pasar Lubuk Alung, dan tempat-tempat lainnya. Beliau baru sekitar sebulan yang lalu menjajakan dagangannya di pintu gerbang masuk Mesjid..

Amplop-amplop tersebut ia ambil dari tetangganya. Kemudian Pak Sahar akan menerima upah sesuai dengan banyaknya amplop yang bisa ia jual. Setoran tersebut tidak dibatasi waktu, boleh kapan saja. Jika pembeli sedang sepi, boleh jadi hari itu tidak setor dulu sampai dengan banyak amplop yang terjual.

Pak Sahar memulai usaha ini dari 2001. Namun karena usianya yang sudah renta, 10 tahun tersebut tidak semuanya digunakan untuk berjualan amplop, terkadang jika sedang capai, ia tidak berangkat mencari nafkah. Sebelum berjualan amplop, Pak Sahar berjualan sayur mayur. Istri Pak Sahar meninggal dunia 6 tahun yang lalu sehingga penghasilan yang beliau dapatkan murni beliau gunakan untuk keperluan hidup beliau sehari-hari. Ketiga anaknya mengetahui bahwa ayahnya ini berjualan amplop untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pak Sahar berangkat dari rumahnya di Padang Panjang sekitar pukul 06.30 WIB dan pulang menuju rumahnya sekitar pukul 16.00 WIB. Beliau menggunakan angkutan perkotaan atau bus sebagai sarana transportasinya. Beliau mengatakan lama perjalanan bisa sampai 45 menit atau satu jam. Sungguh, perjuangan yang sangat hebat bagi laki-laki paruh baya ini.

Penghasilan Pak Sahar sehari-hari jelas tidak menentu. Terkadang tidak ada satu pun amplop yang terjual sehingga untuk kembali pulang ia biasanya meminjam uang pada pedagang-pedagang sekitar dan berjanji akan menggantinya jika nanti amplopnya ada yang membeli. Tetangga yang menjadi tempat setornya tidak mempermasalahkan akan keterlambatan setoran, jelas beliau. Beliau menambahkan ongkos pergi-pulangnya tiap hari sebesar Rp 12.000, padahal penghasilannya tiap hari belum tentu sebesar itu. Pada siang hari, Pak Suhud biasa makan di tempat makan yang beliau katakan murah harganya. Pemilik rumah makan sering mengatakan bahwa jika beliau ingin makan, silakan datang saja tanpa perlu membayar.

Beliau mengambil 100 amplop dari tetangganya seharga Rp 7.500 dan ia menjualnya seharga Rp 10.000. Artinya, untuk 100 amplop yang terjual, ia hanya mendapatkan untung Rp 2.500 saja. Jika dipikir-pikir, siapa yang mau membeli amplop sebanyak itu? Kalau pun ada yang membelinya, keuntungan yang beliau peroleh jelas tidak bisa digunakan untuk makan nasi sekalipun. Allahu a’lam. Ketika ditanya kenapa memilih berjualan amplop, ia hanya menjawab singkat saja, karena amplop ringan, masih bisa beliau bawa dibandingkan jika beliau berdagang yang lainnya.

Karena usianya yang sudah tua, tentu fisiknya pun tidak lagi seperti anak muda. Pak Sahar mengatakan bahwa matanya kini telah kurang awas (rabun), pendengarannya kurang berfungsi dengan baik, dan dadanya sering pengap. Saya memperhatikan, beliau berbicara dengan suara yang lirih sekal dan tangan yang benar-benar gemetar baik di kala berbicara, di kala merapikan amplop-amplopnya, di kala membawa tas, dan lainnya.

Dalam keadaan yang seperti itu, Pak Sahar (Pak Uwo) tetap tegar untuk menjaga kehormatannya dengan tidak meminta-minta. Begitu pula yang dikomentarkan para pedagang di sekitar pintu masuk Masjid. Mereka menambahkan, banyak yang badannya masih bujangan, perkasa, gagah, dan kuat, namun meminta-minta. Kami menutup pembicaraan siang itu dengan menyampaikan amanah infaq yang kami kumpulkan dari teman-teman di kampus..

Sebenarnya, ketika awal sampai akhir perbincangan saya berusaha menahan air mata agar tidak keluar karena mendengar suara Pak Sahar yang begitu lirih dan tangannya yang gemetaran. Terima kasih Pak Sahar. Darimu, saya belajar sebuah perjuangan.

Semoga kelapangan dan keberkahan rezeqi menyertaimu Pak. Dan Allah, tidak akan menyiakan hamba-hamba-Nya.


Saya bertemu lagi dengan Bapak penjual amplop di depan Masjid. Sudah beberapa minggu saya tidak melihatnya berjualan pada hari Jumat di depan Mesjid, tetapi kali ini saya “beruntung” bertemu dia lagi. siang itu saya agak telat menuju Mesjid untuk shalat Jumat, saya datang ketika adzan mulai berkumandang. Ketika berjalan memasuki jalan yang menuju Masjid, saya melihat seonggok dagangan yang ditinggal pergi pemiliknya. Saya yakin itu pasti dagangan Bapak penjual amplop sebab ada beberapa kotak amplop yang ditutupi kertas kardus di atasnya. Tas lusuh di atas tembok batu di belakang itu pasti tas miliknya.

Alhamdulillah ternyata si Bapak ini tidak pernah lalai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu shalat.
Selesai shalat Jumat saya berniat dalam hati menemui Bapak itu lagi untuk membeli amplopnya. Saya ingin membeli sepuluh bungkus lagi. Amplop yang dulu saya beli belum pernah terpakai hingga saat ini, tetapi tidak apa-apa saya ingin membelinya lagi. Saya percaya bahwa dagangan orang-orang kecil itu mengandung barokah, karena ada ketulusan, kejujuran, dan perjuangan hidup di dalamnya.

Bapak itu sudah selesai shalat Jumat dan sudah berada di depan dagangannya. Ketika langkah saya semakin mendekat, saya perhatikan beberapa orang silih berganti membeli dagangan amplopnya. Ada yang membeli satu bungkus, dua bungkus, dan sebagainya. Alhamdulillah, selalu ada saja rezeki buat si Bapak itu ya. Pembeli umumnya melebihkan pembayaran dengan niat sedekah (begitu kira-kira yang saya perhatikan).

Setelah suasana agak sepi baru saya dekati. Penampilannya sekarang terlihat lebih segar dibandingkan pertama kali saya bertemu dia dulu, tetapi tetap saja raut kerentaan, tangan bergetar, dan suara lirihnya masih melekat. Sambil membeli saya ingin tanya-tanya sedikit. Pak Sahar tidak tahu kalau saya menulis tentang kisahnya, tapi itu tidak penting.

Tukang koran yang berjualan di gerbang Masjid ikut menghampiri kami. Rupanya para pedagang di sekitar Mesjid itu terlihat peduli dengan bapak ini. Para pedagang itu pula yang menjaga barang daganganya bila bapak itu shalat di masjid. Ah, siapa pula orang orang yang tega mencuri dagangan amplop bapak ini.

Saya yakin Penjual Amplop ini adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi dagangannya ketika adzan Dzhuhur berkumandang dari Masjid. Pak Sahar menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang martabak di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju masjid untuk mengambil wudhu dan shalat di dalam. Barakollah pak, meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban agama.

Mudah-mudahan Pak Sahar (Pak Uwo) tetap sehat dan istiqomah sebagai seorang muslim yang taat. Aamiin...

Jika Anda tersentuh dengan cerita di atas, tolong “like share” cerita ini ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada cerita di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, Terima Kasih.

Tidak ada komentar: