Apa yang akan anda katakan jika anak anda menangis karena terjatuh ? Biasanya orang tua di Indonesia menyikapinya dengan menyalahkan kodok, LHO KOK BISA ? Ya begitulah Ideologi yang ditanamkan oleh orang tua di Indonesia pada umumnya. Manakala anaknya terjatuh kemudian menangis ia akan mengatakan “Ouw, salahnya kodok.
Kodoknya nakal,ya ? anak ibu nggak salah, dijatuhkan. Huh nakal kamu kodok. Entah kata-kata apa lagi
yang di lontarkan untuk melepaskan kekesalan.
Kodok masih untung. Yang kasihan ayam, kalau kebetulan ia sedang mencari makan disaat yang sama ada anak terjatuh ketika belajar berjalan, maka orang tua si anak yang terjatuh akan melempar ayam sambil berkata,”Uh, ayamnya nakal. Sudah ibu lempar biar kapok.
Lalu bagaimana dengan keluarga yang berada di kota besar konon keluarga tersebut memiliki pendidikan tinggi, dimana kodok dan ayam sulit dijumpai disekitar rumahnya. Siapa yang disalahkan ? Pasti sang anak juga sulit membayangkan seekor kodok yang suka mencelakakan dirinya. Maka yang menjadi rekan senasib kodok dan ayam adalah,
…silahkan anda tebak sendiri.
Kalau sepulang kantor anak mengadukan tangannya yang lecet karena jatuh, didepan anak orangtua tersebut berteriak,”Bi (sebutan untuk pembantu ), kenapa Andi jatuh. Diperhatikan dong, Bi. Yang benar kalau menjaga anak-anak.”
Marilah sekilas kita lihat ke belahan dunia lain seperti di Israel , disana jika didapati anak-anaknya menangis maka sang orang tua akan menakut-nakuti dengan ancaman akan menjualnya jika terus menerus menangis.
Dan biasanya anak tersebut akan diam setelah mendengar kata”akan dijual”.
Dampak dari ideologi yang ditanamkan adalah bangsa ini terkenal dengan kelicikan dalam berpolitik dan begitu pula di Sovyet Rusia. Di Amerika orang tua tidak melibatkan diri mereka secara langsung dalam proses sosialisasi politik, keterlibatan mereka di keluarga secara tidak langsung pada saat acara makan bersama di dalam keluarga mereka.
Selebihnya, sosialisasi politik lebih banyak dilakukan oleh sekolah.Dan bangsa ini terkenal sekali dengan kebebasannya dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka bebas memilih sesuai dengan keinginannya.
Berbeda lagi dengan orangtua di Jepang. Orang tua di Jepang menanamkan nilai-nilai kekesatriaan, nilai sportivitas yang tinggi sejak masih kanak-kanak. Bila menghadapi anak mereka menangis, mereka akan mengatakan ” buat apa menangis ?” Setelah itu mereka menjelaskan. Dari pendidikan keluarga macam ini, di dada anak-anak
Jepang selalu tertanam rasa ksatria. Keadaani ni mengakibatkan anak-anak Jepang selalu berhati-hati, harus berani, dan tidak cengeng. Sikap ini memilikidampak positif yang sangat besar setelah mereka dewasa.
Iran lain lagi. Di negara ini orangtua bersama-sama pemerintah mengajarkan kepada anak-anak kerinduan untuk mati syahid dan menjalin persaudaraan dengan seluruh umat Islam dunia. Anak-anak dikumpulkan untuk mendengar kisah-kisah perjuangan para syahid. Mereka mendengarkan dalam suasana yang heroik satu demi satu cerita sampai akhirnya
mencapai puncak kisah, keharuan yang didambakan dan kebahagiaan yang dicita-citakan yaitu mati syahid.
Dari negeri ini muncullah nama-nama seperti Salman Al-Farisi tokoh pejuang,Imam Nasa’i, Imam Al-Ghazali, Khwajah Nashiruddin al-Thusi maupun Imam Muslim yang merupakan ulama besar dan tokoh-tokoh kemanusiaan yang berjuang untuk Islam. Selain itu muncul pula orang-orang jenius berbakat yang tidak ada bandingnya seperti Abu ‘Ali Sina ( Ibnu Sina ), al-Farabi,Abu Raihan al-Biruni, Ahli matematika Khayyam, Sadr Muta’allihin ( mula Sadra ), Jalaluddin Rumi dan ratusan ahli fisika, matematika, sejarawan, ahli geografi, dokter, penulis filosof dan Sufi.
Kembali lagi kepada orangtua di Indonesia, apa yang dihasilkan dari didikan yang diberikan tersebut.
Jika anak-anak Jepang belajar menjadi samurai, anak-anak”kodok”belajar mencari alasan.
Anak kodok tidak berani tidak berani mengakui kesalahan dan selalu berusaha mencari-cari pembenaran jika berbuat salah .
Jika anak-anak Iran sejak kecil dididik merindukan mati syahid, dengan cara bersungguh-sungguh berjuang sebagai apa pun untuk Islam, anak-anak “kodok” terdidik untuk menikmati hasil perjuangan orang lain. Anak”kodok” mengembangkan sikap / perilaku yang suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan , perilaku suka mencari-cari kesalahan suatu diluar dirinya agar ia memiliki cukup alasan untuk memafkan dirinya sendiri.
Kita mengembangkan sikap tersebut jika kita menyalahkan korban bencana alam hanya lantaran kita dan sekaligus mau menolong mereka, kita menyalahkan orang lain yang tidak membantu karena mereka tak”sebaik kita”
Seorang anak menyalahkan orangtuanya yang tidak mengikuti les matematika ketika ia mendapatkan nilai rendah. Remaja menyalahkan bapaknya yang tidak membelikan motor ketika bakatnya “tidak berkembang”. Sedang wali murid menyalahkan guru yang “pilih kasih” ketika anaknya tidak menduduki ranking satu, padahal ini tidak mencerdaskan anak. Ia berkata kepada suaminya, ” Pa, tolong datangi gurunya si Andi itu, Pa. Kasih oleh-oleh yang pantas, biar dia perhatian sama si Andi.”
Dari uraian diatas, mari kita melihat ke diri kita masing-masing apa yang sudah kita lakukan dan berikan kepada anak-anak kita. Semoga Allah mensucikan jiwa kita dan mengaruniakan kepada kita anak-anak yang sholeh & sholehah.